Sabtu, 05 Januari 2008

Artikel

"The Sociology of South-East Asia, A Critical Review of Some Concepts and Issues"

- Resume Terhadap Artikel Victor T. King

Artikel Victor T. King ini secara garis besar menggambarkan perkembangan konsep-konsep dan isu-isu yang menjadi concern dari para ilmuwan sosial dan sosiolog yang menjadikan Asia Tenggara sebagai obyek studinya. Tinjauan kritis juga diberikan oleh King terhadap konsep-konsep dan isu-isu tersebut. Sosiologi Asia Tenggara yang dibahas hanyalah yang bersifat teoretis saja dan yang berasal dari pemikir-pemikir terkenal dan berpengaruh saja. Pembahasan King dimulai dari sulitnya membedakan antara sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lain yang bidang kajiannya sama seperti antropologi budaya, sejarah ekonomi, ekonomi politik dan studi pembangunan. Daripada memaksakan pembedaan di atas itu, King menawarkan sebuah kerangka berpikir yang dinamakannya "perspektif sosiologi," yaitu sebuah perspektif yang memfokuskan dirinya pada dimensi-dimensi sosial, seperti kemiskinan, kekuasaan dan otoritas, urbanisasi dan industrialisasi, dll. Dengan kerangka berpikir seperti itulah artikel King dibuat.
Sosiologi Asia Tenggara belum pernah menjadi suatu wacana sosiologi yang memiliki ciri khasnya sendiri, dan secara kuantitas pun studi-studi sosiologi Asia Tenggara tidak dapat dibilang banyak. Walaupun sosiologi Asia Tenggara ini sudah mulai berkembang, tetapi kebanyakan sosiolog masih cenderung untuk meminjam ide-ide dari luar daripada mengkonstruksikannya sendiri melalui "pengalaman Asia Tenggara". Ada beberapa kritik terhadap sosiologi Asia Tenggara yang sudah mulai berkembang ini. Perston misalnya mengkritik bahwa studi-studi yang dibuat oleh para ilmuwan kolonial, seperti Boeke dan Furnivall, tentu sudah sangat bias kepentingan kolonial&emdash;dan bahwa sosiologi Asia Tenggara hanya bisa ditemukan melalui studi-studi dari ilmuwan, komentator dan aktivis lokal&emdash;, dan begitu pula dengan studi yang dibuat oleh para sosiolog lokal yang memiliki concern dengan kebijakan pembangunan dan isu-isu perencanaan, seperti Peter Chen, tentu memiliki bias kepentingan pemerintah dan status quo politik. Walaupun begitu kritik Preston ini dikritik balik oleh King sendiri. Menurut King, Preston tidak bisa menangkap nilai intelektual yang terdapat di dalam karya Boeke dan Furnivall&emdash;lagipula studi terhadap Asia Tenggara tidak harus hanya dilakukan oleh para ilmuwan lokal saja&emdash;, serta tidak bisa melihat konteks sosial dari para sosiolog lokal seperti Chen, yang memang terlibat secara praktis untuk memberikan jawaban terhadap isu-isu kemiskinan dan keterbelakangan di negaranya.
Kritik juga diberikan oleh Higgott dan Robison yang mengatakan bahwa para ilmuwan Asia Tenggara banyak yang tidak memperhatikan perubahan-perubahan dramatis yang terjadi semenjak tahun 1970-an, dan bahwa tulisan para ilmuwan sosial Asia Tenggara bersifat konservatif. Hal ini disebabkan tidak lain oleh karena pengaruh tradisi positivis dan empiris kepada para ilmuwan sosial Asia Tenggara tersebut. Walaupun begitu, menurut King, Higgott dan Robison tidak menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi. King kemudian menjelaskan bahwa penyebab hal itu adalah karena kemenangan komunis di Asia Tenggara daratan membuat akses ke data dan izin penelitian lapangan menjadi tidak mungkin. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan oleh karena keterpecahan di dalam komunitas akademis Amerika Serikat akibat perang Vietnam, yang membuat banyak aktivis dan ilmuwan radikal, baik dengan sukarela maupun terpaksa, meninggalkan bidang kajian Asia Tenggara. King juga mengkritik bahwa Higgott dan Robison hanya memfokuskan diri pada ASEAN dan melupakan Asia Tenggara daratan. Memang literatur-literatur radikal sangat kurang membahas mengenai Asia Tenggara daratan, yang negaranya kebanyakan sosialis, karena mungkin penekenan ideologi dari para ilmuwan radikal yang menyatakan bahwa obyek kritisisme dan penelitian yang mendalam itu adalah kapitalisme. Tetapi menurut Carol Warren, sebuah perbandingan yang menyeluruh antara akibat-akibat pembangunan kapitalisme dan sosialisme di Asia Tenggara menunggu studi-studi terhadap pengalaman sosialisme di Asia Tenggara.

King kemudian juga membahas bahwa kuatnya pengaruh ilmu-ilmu sosial struktural-fungsional tidak dapat dilepaskan dari hubungan politik, ekonomi dan akademi antara Amerika Serikat dengan Filipina, Thailand dan Indonesia. Filipina adalah negara yang terkena pengaruh paling dalam dari Amerika&emdash;Filipina juga merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang ada pengajaran sosiologinya. Hunt dan Dizon memiliki apologi bahwa pendirian di Filipina yang pragmatis dan secara relatif konservatif itu memang penting untuk dapat memahami "kebiasaan lokal" serta menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang praktis dan isu-isu kebijakan. Walaupun begitu, Weightman mengkritik bahwa pendirian itu lebih disebabkan oleh karena sosiologi Filipina telah didominasi oleh sekelompok kecil ilmuwan Amerika yang memiliki koneksi ke agen-agen pendanaan Amerika Serikat yang mendiktekan penelitian-penelitian sosial. Selain Filipina, Indonesia dan Thailand juga terkena pengaruh Amerika. Semenjak tahun 1950-an misalnya banyak ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia yang dilatih di Amerika, khususnya di Universitas Cornell.

Apa yang terjadi di negara-negara Malaysia, Singapore dan Brunei, yang merdeka kemudian, juga tidak jauh berbeda. Kondisi-kondisi yang memerlukan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, tidak menyediakan ruang untuk perkembangan sosiologi kritis, sehingga yang berkembang hanyalah sosiologi yang concern dengan koleksi data-data dasar dan studi deskriptif, serta dengan isu-isu praktis pembangunan. Hal ini terlihat misalnya dalam buku Evers dan Chen, Studies in ASEAN Sociology; Urban Society and Social Change, yang memang salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Singapore saat itu. Walaupun begitu, buku ini dijadikan oleh King sebagai batu loncatan untuk review-nya.
Evers memilih empat konsep yang telah memiliki hubungan erat dengan masyarakat Asia Tenggara, yaitu pertama, konsep "dual ekonomi" dari J.H. Boeke, kedua, konsep "masyarakat /ekonomi plural" dari J.S. Furnivall, ketiga, konsep "involusi" dari Clifford Geertz dan keempat, konsep "sistem sosial yang terstruktur secara longgar" dari J.F. Embree. Keempat konsep ini, menurut Evers, dibangun untuk memahami keadaan sosial dan ekonomi di Asia Tenggara dalam konteks penetrasi kolonialisme Eropa, dan bagi King, terkecuali konsep Embree, maka ketiga usaha di atas itu layak untuk diberikan perhatian khusus. Ketiganya sebenarnya menekankan efek-efek yang destruktif dari kapitalisme terhadap masyarakat tradisional.

Konsep Boeke mengenai dual ekonomi dipakai untuk memahami adanya dua sektor ekonomi berbeda, yaitu sektor ekonomi kapitalis-Barat dan sektor ekonomi Timur, tradisional, non-kapitalis, yang hidup berdampingan di satu masyarakat. Boeke beranggapan bahwa sektor yang tradisional ini tidak memiliki aktivitas entrepreneurial; mereka hanya memiliki sedikit kebutuhan dan menolak untuk menempuh resiko, mengakumulasi modal dan mencari keuntungan secara terus-menerus, serta tidak memiliki disiplin dan kemampuan organisasi. Ketergantungan Boeke kepada konsep "mentalitas Timur", "semangat Timur", dan "kekuatan tradisi" untuk menjelaskan pasifitas sektor tradisional itu, membuat penjelasannya mirip dengan penjelasan dari para teori modernisasionis.

Konsep Boeke ini telah menimbulkan banyak perdebatan dan pengaruh. Kritik terhadap konsep Boeke, menurut King, dapat dikategorikan menjadi dua macam, yang pertama, mengkritik dengan berdasarkan pada fakta-fakta sosial dan ekonomi, bahwa gambaran Boeke mengenai masyarakat Timur di bawah kolonialisme adalah salah&emdash;bahwa masyarakat Timur tidak pasif&emdash;, dan kedua, pembagian Boeke yang begitu tajam di antara dua macam tipe sosial di dalam konsepnya, tidak cukup untuk menjelaskan hubungan-hubungan yang ada antara sektor-sektor ekonomi yang berbeda, komunitas dan kelompok, serta dinamika dari proses perubahan.

Konsep Furnivall mengenai "masyarakat pluralis" nampak lebih memuaskan dari konsep Boeke. Sama seperti Boeke, konsep Furnivall juga menekankan adanya perpecahan antar-komunitas yang tajam, di mana dua atau lebih elemen dengan sistem sosialnya sendiri hidup berdampingan tanpa adanya satu unit politik&emdash;hal ini membuat masyarakat Timur berbeda dengan masyarakat Barat yang homogen. Tetapi walaupun begitu, berbeda dengan Boeke, Furnivall memasukkan sebuah elemen analitik, yaitu "pembagian kerja berdasarkan etnis," untuk membantu memahami masyarkat Timur, dan hal ini membawa kita kepada pengamatan terhadap kelompok "Timur Asing," yang terjepit antara pribumi dan Eropa. Di dalam masyarakat plural itu, setiap masyarakat memiliki motivasi ekonomi yang kurang lebih sama&emdash;hal ini juga merupakan perbedaan antara Furnivall dengan Boeke. Selanjutnya anggota dari kelompok-kelompok tersebut hanya bertemu di pasar, di dalam penjualan dan pembelian.

Menurut King, Furnivall telah menarik perhatian kita terhadap identitas suku dan perbedaannya di dalam organisasi sosial Asia Tenggara. Tetapi, kritik terhadap Furnivall adalah karena ia memiliki pandangan yang terlalu sederhana mengenai hubungan antara pembagian suku dan ekonomi di Asia Tenggara, yang seakan-akan terjadi karena kebetulan, padahal di situ ada relasi-relasi kekuasaan dan status yang kompleks. Selain itu, kelompok-kelompok etnis biasanya juga terbagi dalam kelas dan status, dan ada hubungan-hubungan tertentu, selain hubungan pasar, antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Konsep Furnivall terlalu statis untuk menjelaskan hal ini.

Di dalam konteks perdebatan tentang pluralisme, Wertheim dan Evers menyatakan perlunya penekanan kepada hierarki sosial, selain daripada isu etnisitas. Evers kemudian membangun teori mengenai proses kristalisasi kelas, yang melibatkan konsep baru "kelompok strategis". Ada tiga tahap proses kristalisasi kelas, pertama, dimulai dari quasi-groups, di mana perbedaan antar-kelompok mencolok, dan biasanya identitas suku melampaui organisasi sosial yang didasarkan atas profesi dan kekayaan. Kemudian kedua, quasi-groups di atas ditransformasikan menjadi "kelompok strategis", apabila identitas bersama mulai tumbuh, di mana diikuti pula oleh konflik, krisis, dan persaingan. Contoh kelompok strategis ini misalnya militer, pegawai negeri, dll. Kemudian, kelas sosial dilihat sebagai hasil koalisi antara kelompok-kelompok strategis. Konsep "kelompok strategis" Evers sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, tetapi mirip dengan kategori "fraksi kelas" yang digunakan oleh kelompok neo-Marxist. Adapun kritik terhadap konsep Evers adalah bahwa bahkan di dalam satu kelompok strategis pun, seperti misalnya militer, ada pembagian-pembagian lagi di dalamnya, sehingga timbul kesulitan untuk mendefinisikan kelompok strategis tertentu.

Sama dengan Evers, penelitian Nagata mengenai hubungan antara etnisitas dan kelas di Malaysia, menyatakan bahwa stratifikasi sosial telah terjadi melampaui batas-batas etnis, tapi masyarakat Malaysia lebih suka mengidentifikasi dirinya dengan suku daripada dengan kelas tertentu. Syed Husin Ali menambahkan bahwa di Malaysia, kelas-kelas sosial sudah terbentuk, tetapi tidak terjadi konflik kelas, karena kesadaran etnik atau ideologi etnik lebih dominan dan menjadi penghambat dari tumbuhnya kesadaran kelas, sehingga masyarakat Malaysia lebih terbagi secara horisontal dengan kelas dan secara vertikal dengan etnis. Di dalam hal ini, Shamsul A.B. menggunakan konsep "imagined communities" dan "nation of intent" untuk mengeksplorasi agenda-agenda etnis. Menurut King, pembedaan antara dimensi obyektif dan subyektif dari struktur sosial dapat digunakan untuk menganalisa masyarkat yang plural seperti Malaysia. Di Malaysia, menurut King, suku tidak hanya bersifat subyektif, tapi juga obyektif, karena, dengan meminjam hasil penelitian Nagata, kelompok-kelompok bisnis, profesional dan pegawai negeri di sana secara sosial masih terbagi berdasarkan etnisitas. Di negara Asia Tenggara yang lain, isu etnisitas tidak sesignifikan di Malaysia. Konsep Geertz mengenai "involusi" adalah suatu studi mengenai hubungan yang detail antara bentuk-bentuk sosial dan kultural Jawa, organisasi ekonomi dan lingkungan hidup, serta bagaimana hubungan-hubungan ini berkembang di dalam konteks hubungan ekonomi dan politik yang lebih luas. Menurut Geertz, pada masa kolonial, ketika Belanda berupaya mengintegrasikan pertanian beras Jawa ke dalam sistem produksi hasil bumi komersial, seperti gula dan kopi, terjadi kondisi di mana terus terjadi pertambahan penduduk yang tidak diikuti dengan peningkatan produksi per kapita. Untuk menyediakan semua orang "ruang ekonomi", para petani di Jawa membagi tanah, pekerjaan dan produksinya, sehingg hasilnya adalah sebuah tingkat sosio-ekonomi yang homogen, atau yang dikenal dengan istilah "shared poverty". Hal ini membuat orde sosial tradisional tidak berkembang dan "membatu".

Menurut King, ada dua macam ciri khas dari studi Geertz tersebut, pertama, Geertz tidak berupaya untuk membuat sebuah teori yang umum tentang perubahan sosio-ekonomi, melainkan mengadakan studi terhadap sebuah kasus, kedua, konsep-konsep neo-Marxist yang pada umumnya digunakan dalam literatur-literatur keterbelakangan diganti oleh Geertz dengan konsep-konsep ekologi budaya. Teori Geertz juga memiliki kaitan dengan teori-teori keterbelakangan, walaupun disokong pula oleh ide-ide evolusioner yang merupakan peninggalan teori-teori modernisasionis&emdash;tetapi Geertz lebih dekat teori-teori modernisasionis. Karya Geertz memiliki pengaruh yang mendalam terhadap studi-studi di Indonesia, demikian pula pada analisis tentang struktur sosial pedesaan di negara-negara lain seperti Filipina.
Konsep "involusi" Geertz mendapatkan kritik dari berbagai pihak. White misalnya mengkritik teori Geertz yang dikatakannya hanya memiliki "sedikit bukti". Sedikitnya bukti ini dapat dilihat dari pertama, homogenitas masyarakat pedesaan Jawa yang dikatakan Geertz ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, karena pedesaan Jawa dicirikan oleh adanya ketidaksetaraan, kedua, penanaman gula ternyata meminta tenaga kerja dalam jumlah besar, ketiga, beberapa ilmuwan telah menunjukkan banyaknya variasi di dalam hubungan antara kepadatan penduduk, penanaman beras dan tanaman-tanaman komersial, serta pengaruh Belanda di seluruh Jawa, yang kontras dengan temuan Geertz, keempat, telah dibuktikan bahwa wet-rice ecosystem ternyata mengalami peningkatan di dalam hal intensifikasi. Menurut Van Schaik, tesis Geertz tidak membawa serta bukti-bukti dari Jawa Tengah dan Timur, serta mengorganisasikan konsep "involusi pertanian" di dalam kerangka metode komparatif. King sendiri mengkritik Geertz, bahwa akibat-akibat kebijakan Belanda terhadap pertanian di Jawa itu sangat bervariasi, dan hal ini telah banyak dibuktikan oleh para penulis setelah Geertz. Adapun Koentjaraningrat mengkritik Geertz karena ia mengkonstruksikan tipe ideal dari kategori sosial dan mengkontraskannya berdasarkan beberapa ciri yang sudah baku, yang mana hal ini mengorbankan detail-detail dan kompleksitas yang berisfat empiris. Walaupun begitu, menurut King, studi Geertz setidak-tidaknya telah menunjukkan pentingnya memperhatikan konteks kolonialisme.

Konsep penting lainnya dari Geertz adalah konsep "aliran". Aliran ini mengorganisasikan komunitas yang berbeda-beda ke dalam kriteria-kriteria seperti agama dan orientasi politik. Kriteria ini bisa bersifat lintas-kelas seperti misalnya yang terjadi pada Muslim dan non-Muslim di Indonesia. Analisis ini terpengaruh oleh perdebatan tentang konsep pluralisme di Malaysia. Di dalam hal ini, kekurangan Geertz adalah bahwa ia tidak begitu membahas mengenai ekonomi politik, dan terfokus hanya pada segi kultural saja. Meskipun begitu, Hefner tetap memuji Geertz karena telah menunjukkan signifikansi segi kultural tersebut dalam hubungannya dengan pola-pola perilaku sosial, aliansi antar-kelompok dan konflik, serta tindakan sosial.
Satu sosiolog Asia Tenggara yang telah menyediakan jembatan antara sosiologi neo-Marxist, sosial evolusionis dan Weberian, adalah Prof. W. F. Wertheim. Beliau juga mengkombinasikan perspektif sosiologis dan historis. Ada tiga karyanya yang cukup penting untuk diperhatikan. Pertama, Indonesian Society in Transition; A Study of Social Change (1969) membahas mengenai perubahan sosial di Indonesia, problematika periodisasi dan sistematisasi sejarah, sebuah upaya untuk menunjukkan perkembangan di masa depan, dan analisis mengenai relevansi konsep-konsep Weber dan Marx dalam studi mengenai proses sejarah di Indonesia, kedua, East-West Parallels: Sociological Approaches to Modern Asia (1964) membahas mengenai kecocokan konsep-konsep sosiologi Barat di dalam studi mengenai masyarakat Timur. Adapun yang ketiga, magnum-opus-nya, Evolution and Revolution: The Rising Waves of Emancipation (1974) mengelaborasikan konsepnya mengenai konflik dan kontradiksi sebagai unsur dinamis dari masyarakat, dengan menambahkan bahwa satu prinsip yang dapat dilihat di dalam sejarah manusia adalah "emansipasi", baik dari kekuatan alam maupun dari dominasi manusia. Di dalam teorinya ini dapat dilihat pengaruh Marx, Weber dan juga Georg Hegel.
Di dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana pengaruh Marx&emdash;konsep "cara produksi Asia" dan "despotisme Timur"&emdash;dan Weber&emdash;konsep "birokrasi patrimonial" dan tulisan-tulisannya mengenai Islam dan agama India serta Cina&emdash;di dalam karya-karya penting para sosiolog Asia Tenggara. Pada tahun 1970-an mulai terjadi perubahan kecenderungan sosiologi Asia Tenggara ke dalam posisi yang kritis dan radikal, dipengaruhi oleh tulisan-tulisan seperti Gunder Frank dari Amerika Latin. Higgott dan Robison menyebutkan Rex Mortimer sebagai tokoh yang memegang posisi tersebut. Berbeda dengan Wertheim yang cenderung ekletik, Moritmer benar-benar menggunakan perspektif ketergantungan dan keterbelakangan neo-Marxist untuk menjelaskan konsekuensi-konsekuensi dari aktivitas perusahaan transnasional, militer dan komprador di Indonesia. Pengaruh dari posisi kritis dan radikal ini semakin terkonsolidasikan lagi dengan terbitnya dua jurnal yang radikal, pertama, Journal of Contemporary Asia pada tahun 1970 dan kedua, Bulletin of Concerned Asian Scholar pada tahun 1968 di Amerika Serikat.

Semenjak awal tahun 1980-an, terjadi perubahan orientasi di dalam literatur-literatur radikal. Para penulis neo-Marxist mulai merasa tidak puas dengan analisis abstrak mengenai keterbelakangan dan ketergantungan, dan mulai mencoba untuk meletakkan konsep kelas dan proses ekploitasi pada studi-studi tingkat lokal dan kasus. Contohnya adalah sebuah buku yang diedit oleh Higgott dan Robison, Southeast Asia: The Political Economy of Structural Change dan buku berikutnya (Robison, Hewison dan Higgott), Southeast Asia in the 1980s, yang memfokuskan perhatian mereka pada tingkat nasional. Di dalam buku ini dibahas banyak mengenai "internasionalisasi produksi". Dengan menggunakan konteks internasionalisasi produksi itu, mereka juga melihat formasi kelas dan hubungan antar-kelas, sifat-dasar dan peran dari negara dalam akumulasi modal, terutama di dalam hubungannya dengan otoritarianisme politik, dan variasi dari pembangunan kapitalis "pinggiran" pada negara-negara Asia Tenggara. Walaupun analisisnya masih bersifat makro, tapi para penulis telah berpindah dari diskursus teoritis ke analisis terhadap kondisi-kondisi historis yang spesifik dan akibat-akibat dari penetrasi kapitalisme. Kekurangan daripada analisa-analisa ini menurut King adalah hasilnya yang sangat longgar disebabkan oleh karena mereka masih beroperasi di tingkat negara, dan belum berpindah ke tingkatan lokal dan regional.

Trend yang berikutnya dalam aliran radikal dan kritis adalah penekanan terhadap pemahaman akan proses yang berlangsung dan pengaturan institusional di tingkat lokal dalam konteks kekuatan dan sistem ekonomi politik yang lebih besar. Studi ini menggabungkan para sosiolog pedesaan, antropolog dan ekonom pertanian. Karya Turton mengenai struktur kekuasaan lokal dan diferensiasi agraria di Thailand adalah contoh mengenai trend ini. Contoh yang lain adalah tulisan-tulisan yang terkompilasikan di dalam buku Southeast Asia yang diedit oleh Taylor dan Turton. Di dalam buku tersebut juga terdapat tulisan-tulisan yang memfokuskan diri pada kebudayaan dan ideologi, identitas etnik dan kesadaran sosial-historis dari kelompok-kelompok minoritas di Asia. Di Asia Tenggara, literatur-literatur mengenai gender tidak banyak yang bersifat substansial. Karya Noeleen Heyzer mengenai hubungan antara penindasan perempuan dengan sistem sosial yang lebih besar, adalah satu contoh dari karya gender Asia Tenggara yang baik.

Salah satu tema di dalam buku Taylor dan Turton tersebut membawa kita kepada perkembangan yang juga baru di dalam sosiologi Asia Tenggara, yaitu diferensiasi pertanian dan formasi kelas; serta kultur dan ideologi. Satu contoh yang baik mengenai trend ini adalah karya Hefner tentang masyarakat Tengger di Jawa Timur. Ia mengadopsi hermenetik untuk memahami kehidupan sosial, yang mana terpengaruh juga oleh Geertz dan terutama dapat dilacak ke tulisan-tulisan Max Weber mengenai tindakan yang bermakna. Sama seperti Turton, ia juga menempatkan pola-pola kehidupan sosial dalam konteks sejarah dan struktur serta kekuatan ekonomi politik yang lebih luas, walaupun tekanannya tetap pada pengalaman sosial, persepsi, pengertian dan interpretasi dari masyarakat Tengger. Sebuah studi yang serupa adalah analisis Aihwa Ong mengenai pengaruh disiplin kapitalis pada buruh pabrik perempuan Malaysia yang baru pindah dari desa. Ia menaruh perhatian pada konstruksi kultural tentang gender dan citra yang kontradiktif tentang seksualitas, yang terbentuk di dalam proses transformasi dari perempuan desa ke buruh-upahan. Ia mengeksplorasi hubungan antara organisasi ekonomi, sikap dan praktek kultural serta kekuasaan. Studi James Scott tentang persepsi dan evaluasi perilaku dan tindakan dari petani di dalam konteks pembatasan dan persyaratan ekonomi subsistensi, adalah juga sebuah karya yang sangat bagus di dalam trend ini. Di dalam karyanya yang kemudian, bersama Kerkvliet, ia mengeksplorasi berbagau dimensi dari tindakan, perilaku dan motivasi petani lokal di hadapan transformasi sosial, ekonomi dan politik yang dihasilkan oleh perubahan teknologi, penetrasi kapitalis dan komersialisasi pertanian. Apa yang menarik dari literatur mengenai gerakan petani ini adalah penulisan "sejarah dari bawah". Studi-studi mengenai hubungan antara proses sosial yang lokal dengan konteks proses dan kekuatan yang lebih besar, nasional atau internasional, telah menyumbangkan kemajuan dalam memahami perubahan sosial di Asia Tenggara.
Di dalam pandangan King, konsep-konsep awal seperti involusi, dualisme dan pluralisme, beserta aplikasinya sudah menjadi sejarah, walaupun pernah menjadi penting di dalam perkembangan sosiologi Asia Tenggara. King nampak menaruh harapan pada trend-trend baru di dalam sosiologi Asia Tenggara, yang memfokuskan diri pada isu-isu negara di tingkat nasional, pembangunan kapitalis dan kelas, struktur kekuasaan, diferensiasi sosio-ekonomi, gender, kebudayaan, dan ideologi pada tingkat lokal dan regional, walaupun belum bisa membentuk sebuah sosiologi Asia Tenggara yang khas. Adapun di dalam sosiologi Asia Tenggara, kontributor lokal tidaklah sebanyak kontributor asing. Ada beberapa hambatan yang dialami oleh para pemikir lokal, yaitu masalah bahasa. Sebuah karya dari Vietnam yang menggunakan bahasa Vietnam misalnya tidak bisa diketahui oleh pemikir di negara-negara Asia Tenggara lainnya, dan begitu pula berlaku untuk pemikir-pemikir lokal di negara-negara lainnya yang menulis karyanya dalam bahasa lokal. Walaupun begitu, King tampak memilih kolaborasi dari ilmuwan lokal dan asing untuk tetap memajukan pemahaman kita akan masyarakat Asia Tenggara dan transformasi yang dialaminya, daripada dikotomi antara para pemikir lokal dan asing. Adapun selain masalah bahasa, hambatan yang dialami juga oleh para ilmuwan lokal adalah keterlibatan mereka di dalam kerangka politik negaranya, sehingga mereka tidak bisa sebebas ilmuwan asing, walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu.


***ket: artikel ini diambil dari http://media.isnet.org/islam/Etc/Victor.html (6 Januari 2008)

Selasa, 18 September 2007


GUBUK & ISTANA; MIMPI...

Aku selalu berusaha menatapnya, seringkali
Meski aku tahu itu mimpiku
Tidak! aku masih waras
Itu hanya mimpi
Yah, hanya mimpi

Istana tak mungkin berubah gubuk di tepian samudera
Ia menjulang tinggi
Membuat siapapun yang ingin melihat harus menengadah
Memandanginya bagai sang rakyat menyambut rajanya
Tinggi sekali

Aku sudah lelah
Semua telah berlalu
Aku tak mau bermimpi lagi
Aku harus bangun dari tidur panjangku
Gubuk itu... setialah!
Temani aku
perjuanganku...
jejak langkahku...

Jember, 21 Januari 2007

Senin, 17 September 2007

DUDUK DIANTARA DUA KAKI LANGIT


Dan jiwa-jiwapun bertahta
Diantara bukit-bukit kegundahan
Menyibak lembaran kertas kematian
Merambah mendaki matahari
Duduk diantara dua kaki langit
Dan sebuah keniscayaan menjadi nyata

Merambah mendaki matahari
Duduk diantara dua kaki langit
Kenistaan terpahat dalam jiwa
Berurat
Berakar
Dan kesempurnaan adalah nun jauh di sana

Merambah mendaki matahari
Duduk diantara dua kaki langit
Jiwa-jiwa merunduk dalam kegelisahan
Meratap kidung kenistaan
Karena hidup adalah penantian

Jember, awal Januari 2005

MIMPI ITU


Sejarahku...
Tak berbekas
Tak berjejak
Hilang
Tak ada memory
Nostalgia bagiku adalah mimpi tak berujung
Nisbi

Aku meratap di bilik kasihMu
memandangi hamparan anugerahMu
Sepi, bungaMu telah layu
Merunduk lesu dalam bongkahan istana
Rindu, mengikuti jejak asmara yang hilang
Tangis, bagai jalan tak bertepi

Nostalgiaku…pergilah!

Jember, 21 Januari 2007
Saat sang senja mengembang

Rabu, 12 September 2007

Sahabat Sejatiku

Sahabatku…….
Yang lalu…..
Namamu tak terukir dalam catatan harianku,
Asal usulmu tak hadir,
Dalam diskusi kehidupanku
Sampai saat ini pun…
Wajah wujudmu tak terlukis
Dalam sketsa mimpi~mimpiku….
Indahnya suaramu tak terekam dalam pita bathinku
Namun sahabat……….
Kau hidup mengaliri semangat kehidupanku
Mengapa sahabat……?
Karena kau adalah anugrah terindah dari Tuhan untukku
Syair ini dkutip dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy

PUISI...

Puisi adalah serpihan hati. Dia hadir oleh panggilan alam. Membentang di tengah hiruk pikuknya dunia. Dia tak pernah takut dengan muramnya kehidupan, karena dia adalah representasi dari kehidupan. Satu hal yang tak pernah terlupakan dalam sejarah kehidupan manusia.

Kadang kala kita memahami puisi tak lebih dari sekedar pelarian saja atas tajamnya kerikil dunia. Tentu saja anggapan demikian tak berdasar sama sekali. Karena saya sadar banyak hal dalam hidup yang mungkin untuk dihadirkan lewat torehan estetis yang menggerakkan hasrat hidup. Pada posisi ini puisi kemudian menjadi jalan utama.
Dalam keadaan apapun kita tidak hendak membela “makhluk” puisi ini—dia hadir dengan eksistensinya sendiri. Dia hidup dan menghidupkan setiap jiwa yang mati oleh gelapnya dunia.

Dengan demikian puisi adalah ungkapan hidup yang hakiki. Keindahannya adalah nilai estetik hidup. Kematian baginya adalah impian, oleh karena di dalamnya bermuara sungai kehidupan yang kekal abadi. Aku ingin hidup dengannya. Aku rindu bersamanya.



Jember, 7 Juli 2006

Hari Yang Kelabu

“Dia memasangkan cincin ini dijari manisku,
dan dia meminta aku untuk tidak melepaskannya
dalam keadaan apapun”
Kalimat ini bak gelombang tsunami
yang kedahsyatannya telah meluluh lantakkan
seluruh bangunan masa depan
yang telah kita bangun sejak setahun yang lalu
Pahit memang
Tapi itulah hidup

"Hidup adalah pilihan"
Kata ini sungguh mendalam artinya
Tatkala kesunyian merambah bangunan jiwa
menepis segala keceriaan hidup
maka akankah kita lihat senyum itu, tawa itu?

Aku ingin bermimpi seperti dahulu,
menghayalkan betapa indahnya masa depan
yang akan kita jalani berdua
Aku ingin tersenyum sekali lagi dalam tidurku
Mengigau menikmati keindahan sang khayal
Mungkin ini haruslah aku pendam dalam-dalam
Sudahlah...
Semua telah berakhir
Betapapun kau mengurai dengan santun cerita itu,
di hatiku tetap terasa pedih
Entah kata apa yang dapat menggambarkan tangisan jiwa ini
Kalimat pun tak cukup bermakna
dari apa yang telah aku bangun selama ini
Bangunan masa depan yang kini tinggal puing

Makhluk kecil...
kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu*)
Dan sang langitpun bertirai mega


Catatan: *) bagian ini penulis kutip dari buku GIE, Catatan Seorang Demonstran (2005). Gie tulis bait puisi ini mengiringi kepergian kekasih pujaan hatinya.

Rabu, 18 Juli 2007

PARODI SEJARAH

Kawan,
Sudah lama aku ingin berkisah tentang sejarah. Tapi aku takut lidah ini tak berkesudahan dalam wicara. Karena sejarah adalah ketidakpastian. Sejarah bukanlah gerakan linier. Ia juga bukanlah satu nostalgia akan masa lalu.

Namun, sejarah yang kupahami adalah ke-tak-menentu-an, ke-tidak-pastian, kegelisahan, ke-tak-mungkinan yang berjalan berlinang kelindan dengan ke-tak-samaan. Dalam sejarah tak ada pengandaian tentang yang pusat, yang sejati, yang absolut.

Maka, mengapakah kita harus meratapi sejarah? Mengapa kita harus (merasa) terbelenggu sejarah? Dimanakah eksistensi sang Aku? Kita harus menulis masa depan, kawan! Kita harus bermain lagi, bermain, dan terus bermain. Karena permainan kita belum selesai. Kita masih harus bermain. Dan bermain…karena hidup adalah parody.

By: Ishaq
Jember, 01:39
21 Juni 2006