Rabu, 12 September 2007

Hari Yang Kelabu

“Dia memasangkan cincin ini dijari manisku,
dan dia meminta aku untuk tidak melepaskannya
dalam keadaan apapun”
Kalimat ini bak gelombang tsunami
yang kedahsyatannya telah meluluh lantakkan
seluruh bangunan masa depan
yang telah kita bangun sejak setahun yang lalu
Pahit memang
Tapi itulah hidup

"Hidup adalah pilihan"
Kata ini sungguh mendalam artinya
Tatkala kesunyian merambah bangunan jiwa
menepis segala keceriaan hidup
maka akankah kita lihat senyum itu, tawa itu?

Aku ingin bermimpi seperti dahulu,
menghayalkan betapa indahnya masa depan
yang akan kita jalani berdua
Aku ingin tersenyum sekali lagi dalam tidurku
Mengigau menikmati keindahan sang khayal
Mungkin ini haruslah aku pendam dalam-dalam
Sudahlah...
Semua telah berakhir
Betapapun kau mengurai dengan santun cerita itu,
di hatiku tetap terasa pedih
Entah kata apa yang dapat menggambarkan tangisan jiwa ini
Kalimat pun tak cukup bermakna
dari apa yang telah aku bangun selama ini
Bangunan masa depan yang kini tinggal puing

Makhluk kecil...
kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu*)
Dan sang langitpun bertirai mega


Catatan: *) bagian ini penulis kutip dari buku GIE, Catatan Seorang Demonstran (2005). Gie tulis bait puisi ini mengiringi kepergian kekasih pujaan hatinya.

Tidak ada komentar: